Jumat, 03 Februari 2012


TERJEMAH Quran H.B. Jassin sudah selesai dikoreksi para ulama. Sudah di percetakan. Malah direncanakan sehabis Idulfitri ini sudah masuk pasar. Penerbitnya berbeda untuk cetakan pertama dulu, Djambatan. Dan  kini Yayasan 23 Januari 1942. Bukan karena Djambatan mundur akibat reaksi yang keras kepada  karya Jassin itu. Melainkan  karena, menurut Jassin, ia ingin terjemahan itu terbit persis di hari ulang tahunnya yang ke-65, demikianlah memang, sedang Djambatan tak menyanggupinya.
Sebaliknya Yayasan 1942 didirikan oleh tokoh-tokoh dari Gorontalo di Jakarta seperti B.J. Habibie, J.A. Katili, Th. M. Gobel, Ir. Ciputra, Mukhtar Peju dan H.B. Jassin sendiri. "Kami tertarik pada semangat Jassin dalam menghadapi kritik. Bukan mundur, malah tambah maju," kata Katilis Panirogo, sekretaris yayasan. Kritik memang santer sekali. Tidak begitu lama sesudah cetakan pertama Al Quranul Karim Bacaan Mulia disebarkan di tahun 1978 (10.000 eks, dan kini masih 1.000), berbagai nama serentak muncul di berbagai media massa sebagai penyerang, terpenting misalnya Qasim Mansur.
Bermacam surat datang ke Menteri Agama atau Majelis Ulama Indonesia, minta terjemah tersebut dicabut dari peredaran. Di Surabaya, secara spontan sebuah 'panitia peneliti' lahir sendiri -- terdiri dari semcntara ulama Jawa Timur. Bahkan Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) mengajukan koreksian. DDII juga mengeluarkan pernyataan bersama dengan Ikatan Masjid Indonesia Jakarta Raya. Terbit pula tiga buku: Koreksi Terjemahan Al Quranul Karim Bacaan Mulia H.B. Jassin oleh Nazwar Syamsu, Padang Panjang, Polemik tentang Al Quranul Karim Bacaan Mulia oleh H. Oemar Bakry dan Sorotan atas Terjemahan Quran H.B. Jassin oleh KH Siradjuddin Abbas.
Keberatan terbesar mereka yang menentang: Jassin, doktor Sastra Indonesia itu, kebetulan bukan ulama. Bahkan disangsikan kemampuan bahasa Arabnya, meski mungkin sekali punya penguasaan pasif. Bagaimana pula ia bisa dipercaya dalam berbagai 'ilmu alat' yang biasa dipakai ulama buat memahami persis kandungan Quran? Dari kenyataan itu orang jadi sangat mudah melihat (atau mencari) kesalahannya.
Bahkan perbedaan istilah dan ungkapan seperti yang juga terdapat di antara berbagai terjemah Quran sendiri di Indonesia, di sini lantas dipersoalkan. Termasuk 'keberanian' Jassin memakai nama Bacaan Mulia untuk Al Quranul Karim, yang dianggap "merendahkan". DDII misalnya keberatan pada nama itu. "Seharusnya 'kan Quran Wahyu Ilahi," kata seorang tokohnya, seperti dituturkan H. Oemar Bakry dalam bukunya. Arti Quran memang Bacaan, meskipun istilah aslinya telah membentuk pengertian tersendiri, itulah soalnya.
 Tetapi buku Nazwar Syamsu telah bertindak lebih jauh. Terbitan Pustaka Saadiah Padang Panjang itu misalnya, menuding bagaimana Jassin Mengganti Kata Muslim Dengan 'Orang Yang Menyerahkan Diri (Kepada Tuhan)', dalam satu ayat tentang Ibrahim, sebagai: "Jassin sengaja tidak menyebutkan Islam sebagai agama Ibrahim . . . " Lagi, Nazwar curiga kepada Jassin yang menerjemahkan tafshilal kitab dengan "menjelaskan Al-Kitab".
Menurut dia, seharusnya 'Kitab Penjelasan' -- meskipun yang lebih tepat tentunya 'Penjelasan Kitab'. Dengan cara Jassin itu, Quran adalah buku yang menjelaskan kitab suci Kristen yang kini disebut Alkitab itu. menurut Nazwar. Jassin sendiri, yang ada menanggapi sebagian serangan di surat kabar, tidak mempedulikan tuduhan jenis terakhir itu -- yang bisa dipahami hanya sebagai tanda besarnya kecurigaan sebagian kalangan muslimin, dan mudahnya mereka bangkit untuk "membela Islam".
Katanya hanya, kepada TEMPO, "Terjemahan itu bisa tepat dan bisa kurang tepat. Bisa juga tepat, tapi karena pertimbangan penafsirnya berbeda dari pertimbangan penafsir lain, jadi dianggap tidak tepat." DAN Jassin mendapat dukungan dari Ustadz Mukhtar Luthfi al-Anshari, ketua panitia Majelis Ulama DKI yang mengoreksi terjemahannya. Katanya: "Kebanyakan ulama sebenarnya hanya berpegang pada sebagian saja dari kitab-kitab tafsir andalan sebagai perbandingan."
Di Indonesia, "biasanya yang dipegang terutama tafsir Ibnu Katsir." Lalu kalau ada terjemah yang tidak sejalan dengan aliran standar yang telah mereka pilih itu, mereka terkejut. Karena itu dalam kerjanya, panitia yang diberi nama Tim Perbaikan Terjemahan Al-Quranul Karim Bacaan Mulia itu (judul pilihan Jassin itu tetap dipakai) menggunakan berbagai kitab tafsir andalan, di samping kitab-kitab paramasastra Arab, tanpa memberi keistimewaan kepada sebagiannya.
Dalam pengantar untuk cetakan kedua ini bahkan Mukhtar menunjukkan berbagai 'kesalahan' kitab-kitab tafsir Indonesia -- sambil menyatakan perlunya ditambahkan satu 'ilmu alat': Qara-inul Mufassirah, ilmu tentang 'Petunjuk-petunjuk yang Bisa Menafsirkan'.
Khusus tentang terjemah Jassin sendiri, Mukhtar menyebut hanya ada sekitar 30 'kesalahan khusus', meskipun tidak ada yang menyangkut ayat atau materi hukum. Lainnya adalah 'kesalahan umum', yang juga diperbuat tafsir-tafsir lain akibat berat sebelahnya timbangan kepada referensi tadi.
Tetapi terhadap berbagai kritik yang dilontarkan kepada Jassin, Mukhtar bahkan membela yang dikritik. Misalnya kritik Oemar Bakry, penulis agama dan pemilik Penerbit Mutiara itu. Setelah dicocokkan, ternyata Jassin yang benar, kesimpulan Mukhtar. Tetapi yang memalukan adalah serangan Nazwar Syamsu. "Jelas sekali kedangkalan bahasa Arabnya," katanya. Panitia koreksi itu sendiri memang dibentuk akibat kerasnya protes.
Walaupun Buya Hamka sudah memberi kata pengantar dalam cetakan pertama tersebut juga Menteri Agama waktu itu -- plus sambutan simpatik misalnya dari Prof. Aboebakar Atjeh, almarhum, pengarang buku monumental Sejarah Masjid dan orang tasauf -- Departemen Agama bersama MUI merasa perlu mengambil langkah.
Jassin diundang dalam satu sidang para ulama. Dan di sanalah, "baru Majelis Ulama melihat keikhlasan H.B. Jassin dan niat baiknya," tutur Mukhtar. Tapi tentu lebih afdol, kalau kitab itu diteliti. Dan Jassin setuu, tentu saja. MUI lantas menyerahkannya kepad MU DKI Jakarta. Panitia diketuai oleh Mukhtar sendiri, dengan anggota KH Iskandar Idries dan KH Rahmatullah Shiddiq, ditambah tenaga muda Johan Effendi dari Departemen Agama, sebagai sekretaris. Kiai Rahmatullah sndiri hanya sempat beberapa bulan bekerja, kemudian berpulang ke rahmatullah
"Tetapi sudah sempat meletakkan patokan-patokan perbaikan terjemah, bahkan beberapa juz permulaan sudah beliau koreksi." KH Iskandar Idries, dari kalangan Muhammadiyah punya reputasi dulu sebagai penulis Tafsir Hibana, dan dekat dengan sumber-sumber modern -- sementara almarhum, dari kalangan pesantren, sangat menguasai sumber-sumber klasik.
Mukhtar sendiri adalah ulama yang dikenal paling kaya dalam hal bahasa dan sastra (plus musik) Arab, dan berasal dari lingkungan Al-Irsyad. Pekerjaan itu makan waktu tiga tahun. Mula-mula, panitia bersidang satu tahun penuh selama 1979, dua kali seminggu, hingga selesai 30 juz. Penelitian diulangi lagi tahun 1980, dua kali sebulan hingga selesai. "Tapi pada penelitian pertama dan kedua itu," tutur Mukhtar, "saya sebenarnya tidak begitu aktif. Karena saya menganggap yang ada hanya kesalahpahaman bahasa."
Maklum Jassin sastrawan, sedang para ulama bukan. "Tapi setelah saya lihat penelitian yang kedua, maka saya suruh setop dulu jangan dicetak," Penelitian ketiga lantas berlangsung. Kali ini dilakukan oleh Mukhtar, H.B. Jassin dan Johan Effendi -- bertempat di rumah Jassin, tiap bulan sekali Hingga selesai semua, Maret 1982.
Dan kini naskah tersebut, yang sudah di mesin cetak, siap untuk terbit dengan sambutan Menteri Agama. Menurut Mukhtar sendiri, terjemah Jassin sebenarnya lebih baik dari berbagai terjemah yang sudah ada, termasuk dari Departemen Agama. KH Syukri Ghozali, Ketua MUI, dalam konsep sambutannya untuk penerbitan ini juga menyatakan karya tersebut "mudah untuk dipahami, karena tidak terlalu letterlijk/harfiyyah."
Bahwa Jassin diberkati untuk bisa menyelesaikan terjemah Quran lengkap yang pertama di Indonesia, dalam wujud puitis, tentu merupakan prestasi. Toh Kiai Syukri tetap membuka kesempatan: jika di dalamnya masih terdapat hal yang meragukan, "agar dicari perimbangannya dengan beberapa tafsir/terjemah yang lain." Memang. Anjuran itu lebih afdol lagi bila dipahami sebagai dikenakan kepada semua terjemah Quran di Indonesia.
"Nikmati tulisan lengkap artikel ini pada versi cetak dan versi digital majalah Tempo" Silahkan hubungi customer service kami untuk berlangganan edisi cetak di 021-5360409 ext 9. Silahkan hubungi Pusat Data Analisa Tempo untuk mendapatkan versi arsip dalam bentuk PDF, di 021-3916160 ( 10 Juli 1982 )
lalu apakah HB yasin tidak melihat QS. 36:69-70 bahwa Allah tidak mengajarkan syair kepadanya(muhammad), dan bersyair tidak layak baginya. Al-Quran adalah Pelajaran dan kitab yang memberi Penerangan. kalo Allah udah bilang begitu apa lantas kita terjang, lalu apa kita akan dibiarkan saja sama Allah?
kalo Al-Quran hanya dibaca sambil lalu, inilah yang terjadi, di solo ada kajian berbasis Qur'an disampaikan oleh Drs. Minardi Mursyid, dengan metode tematis. alangkah senangnya jika ada stasiun TV nasional yang meliput, karena kesadaran manusia akan benar-benar sesuai dengan PETUNJUK ALLAH SWT. tidak ada lagi bencana di negeri ini. semoga...





Tidak ada komentar:

Posting Komentar